Pernah merasa hidup ini seperti berjalan di treadmill? Capek iya, tapi nggak ke ma-mana. Rutinitas kuliah, kerja, atau scroll media sosial terasa hampa. Kalau kamu pernah merasakannya, mungkin kamu sedang mengalami apa yang disebut Viktor Frankl sebagai Kekosongan Eksistensial.
Apa itu Kekosongan Eksistensial?
Viktor Frankl, seorang psikiater dan penyintas kamp konsentrasi Nazi, mengamati bahwa banyak orang mengalami perasaan hampa karena kehilangan makna hidup. Dalam bukunya Man’s Search for Meaning (1946), Frankl menyebut kondisi ini sebagai existential vacuum, yaitu perasaan bahwa hidup tidak memiliki tujuan atau makna yang jelas. Menurutnya, kekosongan ini muncul karena manusia modern kehilangan insting dasar dan tradisi yang dulu memberikan arahan dalam hidup.
Kenapa Anak Muda Rentan Mengalaminya?
Dalam era digital ini, kita dibanjiri informasi dan pilihan. Namun, ironisnya, banyak dari kita merasa kehilangan arah. Sebuah studi menunjukkan bahwa mahasiswa sering menghadapi kekosongan eksistensial yang berkaitan dengan pesimisme dan optimisme. Tekanan sosial, perubahan politik, dan krisis kesehatan dapat memicu perasaan hampa ini.
Mengisi Kekosongan dengan Makna
Frankl mengembangkan logoterapi, sebuah pendekatan psikoterapi yang fokus pada pencarian makna hidup. Ia percaya bahwa manusia terdorong oleh “kehendak untuk makna” (will to meaning), bukan sekedar mencari kesenangan atau kekuasaan. Logoterapi membantu individu menemukan makna melalui:
- Dereflection : Mengalihkan fokus dari diri sendiri ke hal-hal yang lebih besar.
- Paradoxical Intention : Menghadapi ketakutan dengan cara yang tidak biasa.
- Socratic Dialogue : Mengeksplorasi pemikiran dan perasaan melalui dialog mendalam.
Mencari Makna dalam Kehidupan Sehari-hari
Frankl menyarankan bahwa makna hidup bisa ditemukan melalui:
- Pencapaian: Melakukan pekerjaan atau aktivitas yang berarti.
- Pengalaman: Menikmati keindahan, cinta, atau seni.
- Sikap: Mengambil sikap positif terhadap penderitaan yang tak terhindarkan.
Misalnya, membantu teman yang sedang kesulitan atau mengekspresikan diri melalui seni bisa memberikan rasa makna.
Kekosongan eksistensial bukanlah akhir dari segalanya. Sebaliknya, itu bisa menjadi awal dari pencarian makna yang lebih dalam. Seperti kata Frankl, “Ketika kita tidak lagi mampu mengubah situasi, kita ditantang untuk mengubah diri kita sendiri.” Jadi, daripada terjebak dalam kehampaan, mari kita cari dan ciptakan makna dalam hidup kita.
Referensi:
- Frankl, V. E. (1946). Man’s Search for Meaning.
- Abood, M. H., & Ghbari, T. A. (2021). The Existential Vacuum and Its Relationship to Pessimism and Optimism among Undergraduate Students. Islamic Guidance and Counseling Journal.
- Verywell Mind. (2024). What to Know About Logotherapy.
Follow juga di Instagram https://www.instagram.com/andiftith?igsh=YXRvdG5iYXk0c2xi&utm_source=qr untuk konten lain seputar psikologi dan self-growth.